Sabtu, 18 Februari 2012

Irma Suryati; Cacat namun berbakat.

Situasi Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, Kebumen, Jawa Tengah (Jateng) khas daerah pinggiran. Sawah membentang luas, jalan aspal sempit dan masih banyak lalu lalang sepeda onthel. Di desa itulah, Irma Suryati, 35, selama tujuh tahun terakhir bermukim. Di rumah sederhananya itu terpampang berbagai macam hasil kerajinan tangan. Ada keset, tas, hiasan dinding, suvenir dan lain-lain. Itulah hasil kreasi dari para penyandang cacat yang merupakan binaan Irma.

Irma yang mengalami kecacatan pada kakinya karena polio tidak membuatnya rendah diri, apalagi malu sama tetangganya. Semangatnya yang luar biasa telah menjadikannya sebagai perempuan tangguh. Tidak saja dalam membuktikannya bahwa dirinya bisa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, tetapi juga sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya.

Ketika bertandang ke rumahnya, Irma terlihat masih menyuapi kedua anaknya nomor empat dan lima. “Beginilah saya. Sesibuk apapun kegiatan yang saya lakukan, saya harus tetap menyempatkan untuk anak-anak saya. Pagi hari kegiatannya seperti ini. Memasak, memandikan anak sampai menyuapi. Itu kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Karena buat saya, keluarga adalah segala-galanya,”jelas Irma.

Beberapa kali Irma dengan menggunakan satu penahan kaki dari kayu berdiri, meminta anaknya tidak merangkak ke luar rumah. Suaminya, Agus Priyanto, ikut meminta supaya berhenti merangkak. Ia kemudian memasang satu kaki palsunya. Benar, keduanya memang pasangan penyandang cacat. Tetapi mereka tidak mau menjadi beban masyarakat dan keluarga. “Kami memang ingin mengubah kondisi yang telah ada. Biasanya penyandang cacat dipandang sebelah mata, sebab kondisi umum hanya bisa mengiba. Tidak mau bekerja. Kami ingin semuanya itu diubah dan ternyata bisa,”tandas perempuan yang telah memiliki seabrek penghargaan tersebut.

Kebakaran

Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Semarang, ia tidak melanjutkan kuliah. Ia mendapat terapi kaki yang mengalami lumpuh layu sejak kecil di Rehabilitasi Centrum (RC) atau RS Orthopedi Solo. Di tempat itu, kebetulan banyak juga penyandang cacat. Mereka yang menunggu lama terapinya dilatih kerajinan sesuai bidangnya masing-masing. Di sanalah, ia kecantol sesama pasien yang kini menjadi suaminya.

Setelah selesai terapi, Irma kembali ke Semarang. Bersama Agus yang telah menjadi suaminya, mereka mulai menggeluti usaha kerajinan. Tahun 1999 merupakan tonggak dimulainya usaha di Kota Semarang. Mereka mengumpulkan para penyandang cacat yang kebetulan adalah kawan-kawannya semasa mengikuti pendidikan keterampilan di RC Solo. Usahanya di ibukota Provinsi Jateng itu menuai hasil. Bahkan, mereka bisa merekrut 50 penyandang cacat.

“Selama tiga tahun berusaha, ternyata hasilnya bagus. Sebanyak 50 penyandang cacat menjadi perajin pembuat keset dari kain perca. Masa kejayaan ketika itu tahun 2002. Kami telah memiliki rumah berikut mobil. Karena omzet penjualan hasil kerajinan sudah mencapai miliaran rupiah setiap bulannya. Manajemen juga telah tertata karena sistem produksi dan pemasaran sudah berjalan,”jelasnya.

Tiba-tiba, Irma menghela napas dalam-dalam. Kemudian senyum kecil mengembang. “Jerih payah yang kami rintis selama tiga tahun itu musnah dalam sekejap. Sebab, kompleks kami yang berada di Pasar Karangjati kebakaran. Api menghanguskan seluruhnya. Kami menjadi tidak punya apa-apa lagi. Benar-benar kembali ke titik nol,”lanjutnya.

Awalnya, lanjut Irma, dirinya bersama suami dan anaknya kebingungan. Karena apa yang mereka rintis dari nol ternyata hilang menjadi abu. “Sedih itu pasti. Namun saya yakin Tuhan memiliki rencana lain. Saya percaya itu. Makanya, saya bersama suami tidak larut dalam kesedihan. Untuk menghilangkan trauma itu, kami lalu hijrah ke Kebumen untuk memulai usaha baru. Karena kalau bertahan di Semarang, kesedihan itu pasti akan terus muncul,”kata Irma.

Mulai dari Nol

Meski pernah merasakan kejayaan, langkah awal tetap saja sulit. Setelah hijrah ke Kebumen, Irma mulai merangkai rencana dan memupuk harapan. Dengan gigih, ia bertekad bertemu dengan Bupati Kebumen saat itu yakni Rustriningsih yang kini menjadi Wakil Gubernur Jateng. Bertemu dengan pejabat ternyata tidak segampang yang ia bayangkan. Bahkan, ia sempat ditolak berkali-kali karena dikira ingin meminta sumbangan. Maklum, Irma datang ke kantor kabupaten dengan menggunakan tongkat penahan kakinya yang cacat.

“Seperti pandangan orang kebanyakan, biasanya kalau yang datang orang cacat hanya meminta sumbangan. Waktu itu, saya telah jelaskan bahwa saya ke kabupaten untuk berdiskusi dengan bupati. Berkali-kali memang tidak dibolehkan. Tetapi saya tetap nekad harus bertemu bupati. Alhasil memang bisa bertemu. Saya kemudian paparkan maksud saya yang ingin mengumpulkan penyandang cacat untuk bersama-sama berusaha mengembangkan kreatifitas. Sungguh, tanggapan Bu Rustriningsih sangat positif,” kenang Irma mengingat waktu bersejarah itu.

Gayung bersambut, Rustriningsih secara resmi mengundang seluruh penyandang cacat di seluruh Kebumen. Jumlahnya sekitar 300 orang. Di situlah para penyandang cacat berembuk. Terbentuklah paguyuban penyandang cacat yang diketuai oleh Irma. Bahkan kemudian mereka sepakat untuk membuka usaha. “Pemkab benar-benar peduli dengan memberikan modal dan mengontrak sebuah rumah di Sruweng, Kebumen sebagai tempat usaha,”jelasnya.

Dengan pengalaman semasa membuka usaha di Semarang, Irma mulai bangkit. Meski penyandang cacat dari 26 kecamatan yang ada di Kebumen hanya berjalan di 17 kecamatan. “Itu wajar saja, karena tidak semua penyandang cacat bisa menekuni bidang pembuatan keset. Setelah mulai berkembang, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Desa Karangsari, Kecamatan Buayan sekalian membangun rumah sendiri. Itu sudah menjadi niat saya dan telah saya utarakan ketika paparan di depan bupati,”lanjutnya.

Menuai Hasil

Tak terasa oleh ibu beranak lima tersebut, kalau dirinya sudah sewindu berjerih payah membangun kembali usahanya di Kebumen. Perjalanan waktu yang sudah cukup panjang itu, kini menunai hasilnya. Saat ini, Irma telah memiliki 2.500 perajin, 150 di antaranya adalah para penyandang cacat. Ia mengakui kalau tidak seluruh perajin yang dibinanya aktif, karena sebagian memang hanya sambilan. Yang aktif hanya sekitar 750 perajin.
Namun demikian, secara konsisten telah mampu menghasilkan keset 20 ribu per bulan.

“Setiap bulannya omzetnya setidaknya 20 ribu. Itu adalah keset yang setiap bulan sudah pasti dipasarkan di Jakarta. Harganya rata-rata Rp4 ribu per buah. Namun masih ada produk kerajinan lainnya di antaranya adalah tas dan suvenir kecil-kecil. Khusus untuk keset, ada juga yang telah diekspor sampai ke Australia. Harganya cukup lumayan, per biji Rp35 ribu. Tiap bulannya, kini kami bisa mengekspor 500 biji buah. Bentuknya macam-macam, ada bentuk hati, tokoh kartun, bunga dan lainnya,”jelasnya.

Sebetulnya, lanjut Irma, pasar masih terbuka sangat lebar. Sebab, untuk mencukupi kebutuhan pasar Jakarta saja belum mampu. “Kebutuhan sebetulnya mencapai 60 ribu biji, namun kami baru mampu memasok 20 ribu. Padahal, sudah cukup banyak yang menjadi mitra, tidak hanya para penyandang cacat. Yang menjadi mitra saya, nanti saya kasih bahannya yang berasal dari kain sisa dengan harga Rp1.000 per kilogram (kg). Kemudian setor lagi ke saya untuk dipasarkan Rp3.000 per kg. Pekerjaan dilaksanakan di rumahnya masing-masing, jadi yang menentukan waktu dan lama pengerjaan para pekerja sendiri,”katanya.

Pasar yang masih terbuka tersebut membuat Irma bergerilya untuk memperbanyak tenaga kerja. Bahkan, kini ia juga mulai merambah kepada ibu-ibu PKK dan menjadi instruktur para waria dan pekerja seks komersial (PSK) yang didampingi lembaga Biyung Emban, sebuah LSM di Purwokerto. “Saya secara rutin juga memberikan pelatihan kepada ibu-ibu PKK di Kebumen dan daerah lainnya. Bahkan, terkadang ke luar Jawa seperti Manado dan Bali. Ya, pokoknya saya berangkat karena semakin banyak orang yang bisa berarti mereka akan memperoleh tambahan penghasilan. Apalagi kalau yang meminta adalah penyandang cacat, saya usahakan berangkat. Saya juga diajak oleh Menpora waktu itu, Pak Adhyaksa Dault ke Melbourne, Australia mewakili Indonesia dalam pameran kerajinan. Padahal pameran itu sebetulnya untuk umum, bukan penyandang cacat. Benar-benar membanggakan karena kami penyandang cacat setara dengan orang normal,”ungkapnya.

Cita-cita Irma ternyata tidak mandek di situ. Ia kini membangun rumah bagian belakang dengan ukuran sekitar 7 m x 9 m. Meski tergolong kecil, tetapi rumah yang hampir selesai tersebut akan dipakai untuk menampung para penyandang cacat. Mereka bakal bekerja dan diberikan tempat menginap. “Kami memang menyiapkan tempat bagi penyandang cacat yang rumahnya jauh. Jika mau menginap, silakan saja, tetapi tempatnya juga sederhana seperti ini. Di sini bisa dijadikan pusat usaha penyandang cacat. Niat saya memang bagaimana para penyandang cacat bisa lebih kreatif dan mereka mampu mandiri. Itu secara langsung akan mengangkat martabat penyandang cacat dan mengubah pandangan masyarakat kalau penyandang cacat hanya bisa mengiba dengan menjadi seorang peminta-minta,”tandasnya. (liliek dharmawan)